toleransi (hanya) dalam kata

Saya menemukan fakta menarik seputar pembelajaran. Saya adalah dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jember. Dan semester ini, saya mengajar pada 3 kelas MKU untuk mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Sebagai sebuah mata kuliah umum yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa pada semester awal, mata kuliah PAI di Universitas lebih menekankan pada kemampuan menganalisis peserta didik terhadap isu-isu yang berkembang berkaitan dengan Islam. Walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya tentang isu-isu up to date, karena faktanya PAI di Universitas tentu masih perlu membahas Apa pengertian  Aqidah, Syari’ah, Akhlak, etc. Tentu pengetahuan-pengetahuan tersebut yang terlebih dahulu menjadi bahan diskusi daripada isu-isu tentang HAM atau toleransi.

Minggu lalu ketiga kelas yang saya dampingi sampailah pada pembahasan tentang toleransi. Ketika saya tanyakan pada forum apa pengertian toleransi? Mereka menjawab, saling menghargai, saling menghormati, (persis sama dengan jawaban saya ketika SD dulu), oke, pertanyaan kedua, silahkan mulai dari belakang berurutan tolong anda sebutkan perilaku yang mencerminkan toleransi, hampir semua mahasiswa di kelas tersebut terlihat panik, mahasiswa satu, dua, tiga hingga giliran mahasiswa keempat, dia hampir mengulangi jawaban temannya sebelumnya, saya bilang, jawabannya tidak boleh sama. Seluruh kelas serentak menjawab, wah sulit kalau begitu bu. Dan akhirnya soal tersebut berhenti pada siswa kelima.

Keadaan mahasiswa tersebut akhirnya mengingatkan saya dengan jawaban murid les saya yang masih SD, saat ada soal sebutkan perilaku toleransi, hanya satu contoh yang dia sebutkan: saling menghargai.

Ya, pengetahuan kita tentang toleransi sebatas pada kata menghargai, semua contoh yang disebutkan oleh mahasiswa-mahasiswa saya pun sama, menghargai…, menghormati. Padahal seperti apa bentuk menghargai itulah sebenarnya esensi toleransi. Kita dari SD hanya diajari bahwa ketika mendengar kata toleransi pasti jawabannya, saling menghargai, saling menghormati. Dan saya yakin sekali kata-kata itu untuk anak SD adalah sebuah kata yang abstrak. Mereka tidak bisa mencernanya, apalagi memberi contoh, mungkin karena itu ketika dewasa kita juga belum bisa menyebutkan apa sebenarnya toleransi dan bagaimana bentuk kongkrit dari toleransi.

Kembali ke kelas tadi, akhirnya saya menyampaikan begini, contoh konkrit perilaku toleransi misalnya, saya menolong teman saya walaupun dia non muslim, saya meminjamkan pensil untuk teman saya yang batak, saya memaafkan teman saya yang marah/tersinggung dengan ucapan saya, saya membiarkan teman saya beribadah menurut keyakinannya, dan lain-lain tanpa ada kata “menghargainya”.

Dan kemudian terlihat mahasiswa saya mengangguk-angguk, entah mereka paham atau tidak.

Saya katakan, ayo kita ganti definisi toleransi dengan kata “membiarkan, mengizinkan, membolehkan” adanya perbedaan. Karena menurut kamus bahasa Indonesia memang kata-kata tersebut yang bisa digunakan. Daripada kata “menghargai dan menghormati” saya yakin kata-kata tersebut lebih bisa dipahami oleh anak-anak, apalagi mahasiswa.

Pendidikan kewarganegaraan, pendidikan moral, atau apalah namanya sebagai mata pelajaran yang sangat penting untuk anak-anak dalam kehidupan mereka di masyarakat sudah selayaknya dijauhkan dari kata-kata yang abstrak. Toleransi, tenggang rasa, rukun, dan beberapa kosakata yang lain sebaiknya diganti dengan kata-kata yang mudah dicerna, dekat dengan kehidupan mereka sebagai anak-anak. Jika tidak, mereka tidak akan benar-benar tau maksudnya dan perilaku yang harus ditunjukkan sebagai wujud dari kata-kata tersebut. akhirnya sampai besarpun mereka tidak paham.

Di sisi yang lain, Pendidikan moral, dan akhlak bukan pelajaran yang bisa dipelajari di bangku. Karena moral dan akhlak tentu bukan ranah kognitif tapi ranah perilaku dan nilai yang harus ditanamkan bahasa kerennya, internalisasi nilai. Tujuan mata pelajaran PKn di sekolah tentu ingin muridnya berperilaku sesuai nilai moral yang berkembang di masyarakat. Untuk itu tentu, guru, kepala sekolah dan semua pihak dalam sekolah, keluarga dan masyarakat harus bisa menjadi contoh. Akan tetapi ketika pihak-pihak tersebut belum bisa memberi contoh, alangkah baiknya walaupun sekedar pengetahuan, mereka paham definisi yang sebenarnya sehingga mampu membedakan mana perilaku toleran dan mana yang intoleran. Walau hanya dalam kata.

4 respons untuk ‘toleransi (hanya) dalam kata

  1. Bu dosen…kok bawa2 batak ya…kangen saya kah???
    Menurt defenisi toleransi yg ibu paparkan diatas ibu sudh toleransi kok krn sy dl boleh pinjem baju,jilbab dll milik ibu meskipun sy batak hehehe
    Kalo mnrt psikologinya harus humanis gt lah ya bu 😉

    Suka

Tinggalkan komentar